Lingkungan






Tabloid Mingguan Alchairaat

Fokus Utama

Fokus Khusus

Berita dalam Gambar

Editorial

Lingkungan

Budaya

Ihwal

Hubungi Kami

Iklan dan Pariwara

Buku Tamu

  


Lingkungan


 

Orang Wana Menjaga Hutannya


Balada anak Wana,
Mungkinkah akan saya lihat dan saya
Rasakan………
Apa yang pernah saya nikmati sekarang
mungkinkah Saya akan
mengingat tempat saya dibesarkan ini
Semua ini akan musnah, musnah…….!
Akibat ketamakan segelintir orang.
Lagu ini dinyanyikan oleh seorang anak kecil Wana
(dikutip dari mc, alfard, havard university, 1998 dan diterjemahkan oleh Jabar Lahadji, Yayasan Sahabat Morowali, 1998)

Orang Wana adalah salah satu etnis dari 17 etnis yang mendiami daerah Sulawesi Tengah. Mereka tinggal di dalam Cagar Alam Mororwali (CAM), Bagian Timur Kabupaten Morowali dan bagian barat Kabupaten Luwuk atau terletak diantara 121,4o BT 1,5o LS. To Wana adalah julukan yang di berikan padanya, penyebutan ini populer dikalangan pemerintah, intelektual, orang disekitarnya. Sedangkan orang Wana sendiri tak mengenal penyebutan tersebut. Orang Wana sering juga disebut suku Wana oleh kaum intelektual.

Orang Wana tinggal dan tersebar disekitar Cagar Alam Morowali (CAM) mulai daratan rendah hingga dataran tinggi. Jauh sebelum CAM ditetapkan sebagai CAM. Orang Wana telah mendiami wilayah tersebut pada jaman pra Kolonial Belanda, mereka adalah kelompok minoritas yang mendiami Morowali secara berkelompok. Komunitas orang Wana berasal dari empat bagian berdasarkan pola tempat kediamannya. Pola ini dapat diidentifikasi, dengan berpindah mengitari areal yang mereka tempati sekitar 100 km.

Keempat suku tersebut, percaya mereka berasal dari tempat yang disebut Tudantana, yang saat ini disebut Cagar Alam Morowali (CAM). Tempat ini pulah mereka percaya sebagai tempat Manusia pertama turun dari langit ke bumi atas kuasa Tuhan (Pue). Yang mereka namakan Pololoisong. Selanjutnya Pololoisong dikaruniai seorang anak, yang bernama Adi Banggai yang kemudian menjadi Raja Banggai sekarang dikenal Luwuk Banggai.

Sebelum memasuki sistem pemerintahan Kolonial Belanda, Orang Wana tergabung dalam kesultanan berkuasa didaerah pantai yang disebut Mokole yang dipimpin oleh Taomi, Teluk Tomiri. Sebagian mereka tunduk pada Raja Bungku dibagian selatan, Raja Banggai diTimur, Raja Mori bagian Barat, Raja Tojo bagian Utara.

Setelah masuknya Kolonial Belanda, Raja-raja tersebut berhasil ditundukkan kemudian otonomi kepemerintahan dibawa kekuasaan kolonial Belanda, termasuk Orang Wana. Jatuhnya kerajaan itu, merupakan awal diperkenalkannya sistem ketatanegaraan dari kerajaan (tradisional) ke pola pemerintahan sistem Distrik, sejalan diperkenalkannya pembayaran pajak hasil Bumi, yang bercorak kapitalis, kemudian Jepang dan pemerintahan Indonesia.

Cagar Alam Morowali

Istilah Cagar Alam sudah lama berkembang didunia konservasi. Cagar Alam (CA), diartikan sebidang areal tertentu yang digunakan untuk melindungi Flora dan Fauna dari kemusnahan dimuka pelanet bumi ini (World Strategi Conservacy). Dari maksud ini, terungkaplah tujuan diadakan Cagar Alam untuk memelihara Proses Ekologi Esensial dalam sistem pendukung kehidupan, mempertahankan keanekaragaman, menjamin pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan. Karenanya kebijakan negara mengenai Cagar Alam, apapun alasannya tidak boleh ada pemukiman didalamnya dan aktivitas didalamnya.

Cagar Alam Morowali (CAM) salah satu dari lima lima kasawan yang namanya Cagar Alam Sulawesi Tengah. CAM merupakan Kawasan Suaka Alam yang memiliki luas 225.000 ha dan merupakan kawasan konservasi terluas kedua di Sulawesi Tengah setelah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). CAM ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan RI No. 374/Kpts VII/1986 tanggal 24 Nopember 1986, sebagai tempat perlindungan hutan Tropis yang kompleks.

Berdasarkan topogarfinya, wilayah CAM meliputi 0-2600 m dari permukaan laut, keragaman ekosistem dimulai dari permukaan laut hingga pegunungan terdapat hamparan Mangrove, hutan Alluvial dataran rendah, hutan pegunungan merupakan hutan lumut, hutan sekunder dan sebagainya.

Sebagai kawasan konservasi CAM terdapat dua (2) buah danau, Danau Amba dan Danau Kodi. Keduanya mempunyai peranan penting dalam proses Hidrologi dan pertukaran Oksigen. Fauna yang terdapat didalamnya CAM adalah hewan Endemik Sulawesi, seperti Anoa (Babulus guarlesi), Babi Rusa (babirousa), Musang Coklat. Sulawesi Tengah (Macrogalidia musschen broeki), Monyet (macaca Sp) dan sebagainya.

Dari keanekaragaman hayati inilah kemudian pemerintah dengan berbagai proyek konservasi menyingkirkan orang Wana dari kawasan konservasi ini. Namun sebelumnya ada studi yang dilakukan oleh WWF tahun 1982, yang tergabung dalam satu tim. Hasil studi itu merekomendasikan orang wana dimukimkan diluar CAM. Pada tahun 1986 melalui depatemen sosial dengan proyek konservasi, maka ada sekitar 1000 penduduk Wana yang tinggal di Posangke dipindahakan keluar dari CAM, yang berkedudukan disebelah tenggara CAM, yakni wilayah

Kearifan Orang Wana

Meskipun sebelum diperkenalkannya kawasan konservasi didunia sejak tahun 60-an, orang-orang Wana telah memperkenalkan manajemen pengelolaan yang arif. Dalam pengelolaan yang dianggap arif ini kemudian orang Wana dapat mempertahankan keanekaragama hayati yang terdapat di CAM bertahan hingga kini. Sebab orang wana menganggap hutan sebagai hal yang bernilai bagi hidup mereka di dunia.

Karenanya, Orang Wana menganggap hutan sebagai hal utama bagi kehidupan mereka, karena hutan menyediakan bahan obat-obatan, kebutuhan protein hewani, nabati, mengambil damar, rotan dan alat rumah tangga bagi mereka. Dan hutan juga sebagai tempat upacara ritual (Ceremony Rituals).

Selain itu, Orang Wana mengelola hutan untuk kepentingan hidup mereka , terutama untuk kebutuhan bahan pokok (makanan). Dalam pengelolaan atau manajemen hutan Orang Wana membagi kawasan pengelolaan hutan menjadi beberapa bagian, yakni (1) Rampangale; (2) Yapomasia; (3) Ladang: Tou, Totos dan Bonde; (4) Yopomanggura; (5) Wakanau.

Pemukiman Orang Wana

Pemukiman orang wana secara umum dapat dikategorikan dua bagian berdasarkan penyebarannya. Pertama kelompok komunitas yang terdiri dari 3-12 kepala keluarga dan belum mengenal admistrasi pemerintahan negara Republik Indonesi. Bahkan diantara warga komunitas itu tak mengenal admistrasi pemerintahan kecamatan, desa, porpinsi, bahkan negara republ;ik indonesia. Karena itu, mereka tidak memiliki identiatas sosial yang dikenal resmi dalam pemerintahan desa, yakni identitas agama resmi dinegeri ini, identiatas jati diri lainnya yang masuk dalam kategori identitas pemerintahan tentang warga negara.

Kedua, ada yang menetap dan bahkan telah mengenal pemerithan desa dengan sedikit teratur. Dalam hubungan administrasi mereka telah mengenal Kartu Tanda Penduduk, berisi identistas administrasi pedesaan. Dalam prateknya lebih jauh administrasi ini telah mulai memperkenalkan agama bagi orang wana. Meski demikian penyebaran orang wana yang berbentuk komunitas belum mengenal administrasi.

Kebijakan Pelestarian Indonesia

Seperti halnya kebijakan pembangunan di Indonesia, kebijakan Cagar Alam (CA), mulai dari tahap perencanaan hingga akhir sama sekali tidak melibatkan masyarakat yang bermukim disekitar kawasan lindung (masyarakjat lokal). Sering kali pelibatan ini hanya mengintrodusir peribadi kepada Desa yang bukan berposisi sebagai Kepala Desa (Kades) dalam penetapan kawasan, baik perencanaannya, maupun impelentasinya. Akibatnya pelibatan Kades mengundang sejumlah konflik dan gugatan dari masyarakat.

Meski demikian salah satu mala petaka yang menyebabkan kades sering dilibatkan. Pertama Kades secara hukum sebagai pimpinan otonomi tertinggi didesa, kedua, kades sebagai pimpinan politik didesa, ketiga, rangkap jabatan Kades, yakni sebagai Kades dan sebagai Ketua Lembaga Keamanan Desa (LKMD).

Meskipun disadari dalam peraturan penetapan kawasan Hutan Lindung dicantumkan adanya partisipasi masyarakat, namun secara praktis tidak pernah ada. Kemudian setelah kawasan Hutan Lindung ditetapkan sering kali terjadi konflik antara masyarakat dan petugas Jagawana.

Memasuki era 80-an setelah dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri RI No. 374/Kpts VII/ 1986 tanggal 24 Nopember 1986, tentang penetapan kawasan konservasi CAM. Maka oleh fungsi kawasan konservasi tersebut, orang Wana dianggap ancaman bagi kelestarian kawasan konservasi. Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) memindahkan sekitar 1000 orang Wana dari kawasan CAM yang ditempatkan dipinggir kawasan CAM. Proses pemindahan dari laporan resmi yang diterima menggunakan pinjaman dari Bank Dunia (World Bank). Proyek ini termasuk "program yang gagal." Karena kemudian orang Wana meninggalkan tersebut dan kembali ketempatnya semula, karena tidak adanya jaminan sosial yang memadai bagi Orang Wana untuk mengeskpresikan kebiasaan (tradisi) terhadap hutan dan merasa tidak terbiasa hidup dengan iklim pantai dan pola pekerjaan yang tidak biasa dilakukan, yakni mengail (memancing) dan pola berdagang.

Untuk merespon berbagai kritik terhadap pemerintah diera 90-an terdapat penduduk miskin, maka Orang Wana mulai diperkenalkan dengan perkebunan Kelapa Sawit oleh PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) dibagian timur CAM, dimana orang Wana dijadikan sebagai petani plasma diperkebunan tersebut dan pembukaan jalan.

Pembukaan jalan telah merubah produksi orang Wana dari sistem barter (tukar barang) ke alat tukar uang, dari berjalan menyusuri hutan menjadi naik kendaraan.

Dampak ini lebih jauh, merupakan salah bentuk penghancuran tradisi Orang Wana dari tidak pernah mengenal Kartu Tanda Penduduk (KTP), menjadi memiliki KTP, dari tidak memeluk salah satu dari lima (5) agama yang ada di Indonesia, sekarang menjadi pemeluk salah satu diantaranya. Proses demikian tengah berlangsung sejak diperkenalkannya Orang Wana dengan pembangunan.